Sabtu, 03 Desember 2011

Rumpun puisi 1

Di Bawah Rindang Baliho

Di bawah rindang baliho
Pernah kami ucapkan
janji setia
Tepat di antara
kata-kata penuh bujukan
yang jatuh sehelai-sehelai
kala tertiup angin

Ternyata, kami tidak benar-benar jatuh cinta
Kami memelihara pengkhianatan: buah
yang terlampau hitam

Lugu sekali, satu sosok tegak
mengaduk-aduk bayangan sembari terisak

Di sana, di bawah baliho yang memucat!


 Pertanyaan

Kapan terakhir kali
kau pelankan langkahmu?
Tidak berkata apa-apa, selain
mendengar percakapan dalam jiwa
Benda-benda angkasa masuk ke tubuhmu sebagai
butiran pasir
dan rasa kehilanganmu seperti
cahaya yang mencair
Kamu luluh lantak, kamu masih bersendawa
Begitulah, di tahta kosong itu kau mulai menatah nama
Alangkah genitnya!


Ikan Menggelepar

Kamu merasakan
energi
yang hidup
menjaringmu
Kamu ikan menggelepar
dalam jaring-Nya

Setengah mampus kamu
ingin melarikan diri

Sepertinya kamu berhasil
keluar
sebagai pecundang!



Pantomim Orang Kota

Ada orang, tapi bukan manusia
Ada orang, diperlakukan tidak seperti manusia
Orang-orang ini, bergelimpangan di kota-kota
menjadi lalat atas sampah yang bau
Sesekali urat saraf mereka menegang, mekik “merdeka!”
setelah itu kembali sibuk ngucup berhala

Kampanye

Heran, ada saja orang yang tahan
meracau berlama-lama
di bawah guyuran lagu goyang dangdut

Massa yang terlena di bawah panggung
Terperangkap dalam joget berjuta tahun

Pinggul-pinggul yang membatu
dan siulan-siulan yang purbawi

Dia yang kambuh lagi
Ingin merebut, menguasai, mendengkuri: mikrofon


Zikir Uang

Tak ada pelumas yang lebih baik dari uang
Tak ada yang lebih licin dari belut selain uang
Status sosialmu sekarang ini: ditebus dengan uang
Semakin ke atas, semakin banyak uang terlibat
Uang melancarkan segalanya
Ada-ada saja, ada uang mampu mengganti
agama dengan mudahnya
Uang adalah “agama” dengan pemeluk terbanyak di dunia

Uang sakit hati
kenapa ia sungguh menggoda
Mengumandangkan ia zikir api
Awas, yang bermain mata
disambarnya hingga tak bisa hidup tak bisa mati


Aqsa

Ini tentang neraka yang diciptakan
tentang tanah, kehormatan, dan luka yang panjang
Anak-anak bermain di garis depan
bermain dengan kehilangan-kehilangan

Pertempurannya berlangsung di banyak titik
dalam jiwa manusia
Satu bumi terlibat, satu bumi mengulur tangan
bagi darah yang terserap cepat oleh sejarah

Inilah zona di mana ditanam ranjau
Para darwis menari berputar, keledai pergi
mengokang senjata
Ada mawar jatuh, ada bangkai yang telentang
menatap ruh yang mengawang-awang:  keramas
di seribu senja


Bodoh

Engkau yang sangat kesepian dan usil
Mencintai kami tanpa kami mempunyai pilihan

Tanah lempung, pipi yang memerah, gerak waktu
Apakah semua itu ada artinya?

Kami hanya menduga-duga
Keterpisahan yang sakit ini!

Engkau yang sangat kesepian dan usil
Mencintai kami tanpa kami mempunyai pilihan


Faisal Kamandobat

Ada banyak langit
Mengeropos dalam batin
seperti pahit
pada mimpi yang bersin
Ia ditelanjangi kitab-kitab
Disalib sedemikian rupa
di bukit tandus kata
Ia memilih bermain
dengan udara yang masuk satu dua
Tergoroklah angkara murka! Darah manis
meneteslah dengan gegap gempita


Himne Rasa Maaf

Ada sesuatu yang mendasari sesorang menjadi begini dan begini
Sejarahnya mungkin akan sangat panjang dan rumit
dan sebagian besarnya tak kasat mata
Ada benang-benang tersembunyi terikat di sini dan di sini
Ada rentetan peristiwa memberi riak pada kembara
Burung-burung yang lelah terbang akan merindukan sarang
Ya, burung-burung yang lelah terbang akan merindukan sarang
Jadi, maafkan, maafkan, maafkan, mereka
Maafkan diri tersayangmu, sayang: saat ini juga
Kalaupun tidak, juga tidak mengapa
Karena telah kupersembahkan puisi ini sebagai himne
bagi rasa maaf
Dan itu sudah lebih dari cukup!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar